Bukan SIAPA yang mengatakan,
tapi APA yang dikatakan
Bertemu dengan sahabat lama, yang sudah berbulan-bulan tidak pernah berkomunikasi maupun berkirim kabar, tentunya menjadi momen yang sangat menyenangkan. Tetapi bagaimana jika ternyata kondisi ekonominya sedang terpuruk, tidak seperti ketika terakhir kali bertemu? Kegembiraan, keceriaan, senyum bahagia mungkin hanya ungkapan penghargaan kepada seorang sahabat. Sedih, miris, kasihan, sebisa mungkin pasti akan kita simpan demi menjaga perasaannya. Bagaimana jika kondisinya yang kurang beruntung itu sudah pernah kita prediksikan jauh hari sebelumnya?
Kadang dalam keadaan nyaman, ketika sahabat kita sedang terbuai menikmati comfort zone dalam karirnya, hati seolah membeku, nasihat pun hanya menjadi obrolan tanpa makna. Ketika kita katakan bahwa sangat mungkin justru kenyamanan itu yang suatu saat akan menikam dengan kejamnya, nasihat itu menjadi suatu hal yang terdengar mustahil. Apalagi ketika posisi kita dalam karir, income, status sosial, atau umur masih lebih rendah, meskipun hanya setingkat di bawahnya, kredibilitas kita dipertanyakan. Saat seperti itu menjadi sangat sulit bagi orang lain untuk mendengar dengan hati, karena gengsi akan menutup kebenaran. Bukan APA yang kita katakan, tetapi dia hanya akan memandang SIAPA kita.
Ketajaman analisa dan cara kita membaca kondisi, kadang menjadi sia-sia ketika warning tidak didengar dengan hati. Gengsi akan menutup kebenaran dan melewatkan persiapan dini yang seharusnya dilakukan. Ketika benar-benar terjadi, kita hanya mampu menjadi penonton episode drama kehidupan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Saat kita menyarankan untuk menggali potensi lain di luar karir yang sedang ditekuni, mungkin hanya akan manjadi lelucon dan angin lalu. Bagaimana jika ternyata kemudian suatu hal memaksanya kehilangan pekerjaan, tanpa bekal yang cukup untuk membanting kemudi melanjutkan hidup dengan jalan lain? Sudah terlambat untuk membantunya bangkit.
Bagaimana ketika sebuah aksi yang sebenarnya bisa disiasati ternyata berakibat buruk dan berjalan di luar rencana? Bagaimana jika sebelumnya kita sudah menganalisa dan menimbang bahwa hal buruk tersebut sebenarnya sudah terbaca, hanya saja karena gengsi suara kita tidak didengar? Butuh jiwa besar seseorang untuk mengakui bahwa prediksi kita terhadap sesuatu yang sedang terjadi ternyata benar. Sayangnya hal tersebut sudah terjadi dan mengakui kebenaran pendapat kita saja tidak akan mengubah keadaan. Seorang yang bijak akan belajar dan mulai mengesampingkan gengsi untuk mendengar dengan hati.
Bukan sebuah kemenangan untuk kita ketika seseorang mengalami hal buruk yang sebelumnya sudah terbaca. Ego kita mungkin akan menertawakan, tetapi mari tanyakan kepada hati, apa yang seharusnya kita lakukan. Seharusnya hal buruk tidak akan terjadi jika kita didengar. Tetap asah kepekaan terhadap kondisi yang terjadi. Belajar bukan harus dengan mengalami sendiri, karena ketika pengalaman memaksa kita menerima pelajaran menyakitkan, pengalaman bukan lagi menjadi guru terbaik, kita tertinggal satu pelajaran sangat berharga, kepekaan untuk antisipasi. Tingkatkan kapasitas diri, naikkan level, agar kita didengar dengan hati, bukan lagi dengan gengsi.
Bagaimana dengan Anda sebagai pendengar? Seberapa peka Anda mampu mendengar dengan hati? Mampukah Anda benar-benar menerima APA yang dikatakan tanpa melihat SIAPA yang mengatakan?
Pernahkah Anda mengabaikan, mengesampingkan analisa orang lain terhadap suatu kondisi di masa yang akan datang, kemudian hal tersebut benar-benar terjadi? Apa yang Anda rasakan? Hati kecil Anda akan katakan, "Sepertinya kondisi ini familier, dia pernah mengatakan bahwa ini akan terjadi." Karena mungkin ego, mungkin juga gengsi menutupi kebenaran, Anda akan sampai pada sebuah kesimpulan, "Ah, pasti hanya kebetulan." Dengan kesimpulan ini, sadarkah Anda, bahwa satu lagi pelajaran dalam hidup telah terlewatkan? Pelajaran untuk mendengarkan dengan hati, bukan dengan gengsi.
0 komentar:
Posting Komentar