Selasa, 09 Juli 2013

Ramadhan - Tradisi Salah Kaprah Menyambut Bulan Puasa

Hari-hari terakhir menyambut bulan puasa Ramadhan 1434 H, seperti biasa iklan di televisi mulai dipenuhi produk-produk minuman dan biscuit, sinetron lebay cinta-cintaan bergeser ke nuansa religi, musisi mengambil bagiannya sendiri dengan album-album bernuansa islami. Bagaimana dengan Anda? Sudah siap mengikuti arus "mendadak" religius, atau mulai fight mengambil momen yang hanya datang setahun sekali untuk meledakkan omset bisnis? Ingat, Ramadhan bulan suci waktunya untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, jangan sampai salah kaprah karena latah memanfaatkan peluang mengejar materi tetapi ketinggalan kereta rahmat yang hanya melintas sebulan lamanya. Dimana pun posisi Anda saat ini, mari sejenak menepi dari gegap gempita persiapan menyambut bulan puasa Ramadhan tahun ini, mari sejenak melihat dari sisi yang sedikit berbeda dari biasa, sekedar mengamati dengan lebih jeli sesuatu yang kadang terlewatkan untuk dimengerti, tradisi.


Salah satu tradisi yang beberapa tahun belakangan ini menjadi trending topic di kantor adalah munggahan. Tradisi Sunda yang mulai pudar makna maupun esensi pelaksanaannya. Bahkan jika Anda berada dilingkungan masyarakat industrialis seperti Bekasi atau Cikarang, munggahan menjadi tradisi yang menyimpang cukup jauh dari esensi awalnya, karena munggahan dimaknai dengan makan sepuasnya sebelum nanti selama bulan Ramadhan harus menahan karena akan cukup sulit menemukan momen makan besar di siang atau sore hari. Tradisi munggahan berasal dari kata "munggah" atau naik ke jenjang yang lebih tinggi, sebelumnya diisi dengan kajian-kajian islami, silaturahim saling memaafkan untuk membersihkan diri menyambut bulan suci. Di hari pertama puasa, keluarga berkumpul untuk sahur bersama.

Karena mayoritas pekerja adalah pendatang, tradisi berkumpul bersama keluarga besar ini mulai luntur, meskipun tradisi saling bermaafan masih terasa meskipun samar. Hari-hari terakhir menyambut bulan puasa Ramadhan ini dihabiskan untuk melampiaskan nafsu makan maupun kesenangan-kesenangan yang akan sulit didapatkan selama bulan Ramadhan. Tradisi munggahan menjadi salah kaprah, menyimpang dari esensinya untuk persiapan naik ke jenjang religi lebih tinggi di bulan puasa penuh berkah.

Ketika masih menempuh pendidikan di Jogja beberapa tahun lalu, tradisi yang tidak pernah terlewatkan menyambut bulan puasa Ramadhan adalah nyadran atau ruwahan. Tradisi ini dilaksanakan setiap bulan Ruwah di penanggalan Jawa atau bulan Sya'ban, berasal dari kejbudayaan Hindu dan Jawa kuno. Masyarakat Jawa pada bulan ini membersihkan kuburan dan ziarah ke makam-makam keluarga maupun ke makam para wali. Puncaknya, di akhir bulan Ruwah, acara nyadran digelar di satu daerah dengan berkumpul di makam, masing-masing membawa makanan, kadang ada juga gunungan dan ingkung ayam, yang kemudian dinikmati bersama di pelataran makam. Tradisi yang pada awalnya adalah untuk ziarah, mengirim do'a, dan ditutup dengan acara ceramah keagamaan ini menjadi kabur dan rawan tergelincir ke jurang syirik. Karena berasal dari budaya Hindu, maka sangat kental nuansa ritual dengan sesaji-sesaji dan pemujaan. 

Bukankah ziarah itu disyari'atkan? Benar, ziarah disunahkan oleh Rasulullah untuk mengingat mati. Tetapi dalam kemasan tradisi nyadran saat ini, tujuan tersebut menjadi tak tentu arah. Banyak yang datang hanya untuk berkumpul, makan bersama, dan bersenang-senang. Apakah seperti itu cara mengingat mati? Sebagian benar-benar datang untuk mengirim do'a. Tetapi bukankah mendo'akan keluarga yang sudah meninggal itu bisa dilakuakan dimana saja, tanpa harus datang ke kuburan tempat jasadnya kembali ke tanah? Bahkan mengirim do'a seharusnya bisa dilakukan setiap waktu, tanpa menunggu bulan Ruwah, tanpa menunggu momen tradisi nyadran. Tradisi luhur yang salah kaprah, kearifan budaya jawa yang sangat rawan tergelincir ke jurang syirik.

Masih dari tanah Jawa, tradisi menyambut bulan puasa Ramadhan yang lain adalah padusan. Padusan berasal dari kata dasar "adus" yang berarti mandi, esensinya adalah untuk membersihkan diri agar kondisi kita suci memasuki bulan puasa Ramadhan. Ritual padusan biasanya dilakukan dengan mandi di pantai, sendang atau mata air, atau berendam di air yang mengalir. Pada H-1 Ramadhan biasanya tempat-tempat wisata pantai seperti Parangtritis dan sekitarnya akan sangat ramai. Dari makna awalnya untuk membersihkan diri (rohaniah) menjadi acara jalan-jalan dan menghabiskan waktu bermain di tempat-tempat rekreasi. Bukankah sebelum shalat pun kita diwajibkan untuk mandi wajib? Salah kaprah ritual padusan yang seharusnya untuk membersihkan diri persiapan menyambut bulan suci Ramadhan justru menjadi ritual mengumbar nafsu.

Bulan Ramadhan menjadi bulan mulia yang ditunggu-tunggu dan seharusnya dipersiapkan penyambutannya secara maksimal. Tetapi, pernahkah Anda mendengar rekan kerja, teman, atau saudara yang seakan berat menyambut datangnya bulan Ramadhan? Atau bahkan Anda sendiri yang merasa seperti itu? Ketika sedang dilakukan sidang isbat dan berpotensi adanya perbedaan hari pertama puasa maupun idul fitri, ungkapan yang kadang masih terdengar, "mulai puasa belakangan tetapi hari lebaran yang duluan". Seolah-olah bulan Ramadhan itu seharusnya sesingkat-singkatnya.Sebegitu beratkah menyambut bulan Ramadhan yang penuh berkah? Tradisi dan persiapan-persiapan menyambut bulan puasa Ramadhan seharusnya penuh suka cita, bukan menjadi pelampiasan karena sebulan ke depan adalah bulan yang berat. 

Mari melihat ke dalam diri sendiri, dimana posisi Anda saat ini?

0 komentar:

Posting Komentar

 
;